Cerita ini berawal dari ajakan seorang temanku untuk potong rambut di
sebuah salon yang letaknya di sekitar Universitas **** (edited) Jakarta
pada awal bulan Februari lalu. Maafkan, andai aku tidak dapat menulis
dengan baik. Aku baru tahu bahwa sudah rahasia umum semua wanita yang
bekerja di salon itu bisa diajak kencan. Pada hari Sabtu yang telah kami
sepakati dengan teman dia, dan kami janjian ketemu di salon itu jam
13:00. Aku pun meluncur ke salon itu untuk potong rambut, sejenak aku
melirik jam tangan, terlihat jam satu kurang beberapa menit saja dan
kuputuskan untuk masuk. Seperti halnya salon-salon biasa, suasana salon
ini normal tidak ada yang luar biasa dari tata ruangnya serta
kegiatannya. Pada pertama kali aku masuk, aku langsung menuju ke tempat
meja reception dan di sana aku mengatakan niat untuk potong rambut.
Dikatakan oleh wanita cantik yang duduk di balik meja reception agar aku
menunggu sebentar sebab sedang sibuk semua. Sambil menunggu, aku
mencoba untuk melihat-lihat sekitar siapa tahu ada temanku, tapi tidak
terlihat ada temanku di antara semua orang tersebut. Mungkin dia belum
datang, pikirku. Kuakui bahwa hampir semua wanita yang bekerja di salon
ini cantik-cantik dan putih dengan postur tubuh yang proporsional dan
aduhai. Kalau boleh memperkirakan umur mereka, mereka berumur sekitar
20-30 tahun. Aku jadi teringat dengan omongan temanku, Hanni, bahwa
mereka bisa diajak kencan. Namun aku sendiri masih ragu sebab salon ini
benar-benar seperti salon pada umumnya. Setelah beberapa menit menunggu,
aku ditegur oleh reception bahwa aku sudah dapat potong rambut sambil
menunjuk ke salah satu tempat yang kosong. Aku pun menuju ke arah yang
ditentukan. Beberapa detik kemudian seorang wanita muda nan cantik
menugur sambil memegang rambutku. Mas, rambutnya mau dimodel apa?
katanya sambil melihatku lewat cermin dan tetap memegang rambutku yang
sudah agak panjang. Mmm dirapiin aja Mbak! kataku pendek. Lalu seperti
halnya di tempat cukur rambut pada umumnya, aku pun diberi penutup pada
seluruh tubuhku untuk menghindari potongan-potongan rambut. Beberapa
menit pertama begitu kaku dan dingin. Aku yang diam saja dan dia sibuk
mulai motong rambutku. Sangat tidak enak rasanya dan aku mencoba untuk
mencairkan suasana. Mbak udah lama kerja di sini? tanyaku. Kira-kira
sudah enam bulan, Mas ngomong-ngomong situ baru sekali ya potong di
sini? sambungnya sambil tetap memotong rambut. Iya kemarenan saya lewat
jalan ini, terus kok ada salon, ya udah dech, saya potong di sini. Ini
juga janjian sama temen, tapi mana ya kok belum datang? jawabku sedikit
berbohong. Ooo.. jawabnya singkat dan berkesan cuek. Hei terdengar suara
temanku sambil menepuk pundak. Eh elo baru dateng tanyaku. Iya nih tadi
di bawah jembatan macet, mmm gue potong dulu yach.. jawabnya sambil
berlalu.Ngobrol punya ngobrol, akhirnya kami dekat, dan belakangan aku
tahu Stella namanya, 22 tahun, dia kost di daerah situ juga, dia orang
Manado, dia enam bersaudara dan dia anak ketiga. Kami pun sepakat untuk
janjian ketemu di luar pada hari Senin. Untuk pembaca ketahui setiap
hari Senin, salon ini tutup. Setelah aku selesai, sambil memberikan tips
sekedarnya, aku menanyakan apakah ia mau aku ajak makan. Dia
menyanggupi dan ia menulis pada selembar secarik kertas kecil nomor
teleponnya. Sambil menunggu Hanni, aku ngobrol dengan Stella, aku sempat
diperkenalkan oleh beberapa temannya yang bernama Susi, Icha dan Yana.
Ketiganya cantik-cantik tapi Stella tidak kalah cantik dengan mereka
baik itu parasnya juga tubuhnya. Susi, ia berambut agak panjang dan pada
beberapa bagian rambutnya dicat kuning. Icha, ia agak pendek,
tatapannya agak misterius, dadanya sebesar Stella namun karena postur
tubuhnya yang agak pendek sehingga payudaranya membuat ngiler semua mata
laki-laki untuk menikmatinya. Sedangkan Yana, ia tampak sangat merawat
tubuhnya, ia begitu mempesona, lingkar pinggangnya yang sangat ideal
dengan tinggi badannya, pantatnya dan dadanya-pun sangat
proporsional.Akhirnya kami ketemu pada hari Senin dan di tempat yang
sudah disepakati. Setelah makan siang, kami nonton bioskop, filmnya
Jennifer Lopez, The Cell. Wah, cakep sekali ini orang, batinku mengagumi
kecantikan Stella yang waktu itu mengenakan kaos ketat berwarna biru
muda ditambah dengan rompi yang dikancingkan dan dipadu dengan celana
jeans ketat serta sandal yang tebal. Kami serius mengikuti alur cerita
film itu, hingga akhirnya semua penonton dikagetkan oleh suatu adegan.
Stella tampak kaget, terlihat dari bergetarnya tubuh dia. Entah ada
setan apa, secara reflek aku memegang tangan kanannya. Lama sekali aku
memegang tangannya dengan sesekali meremasnya dan ia diam saja.Singkat
cerita, aku mengantarkan dia pulang ke kostnya, di tengah jalan Stella
memohon kepadaku untuk tidak langsung pulang tapi putar-putar dulu.
Kukabulkan permintaannya karena aku sendiri sedang bebas, dan kuputuskan
untuk naik tol dan putar-putar kota Jakarta. Sambil menikmati musik,
kami saling berdiam diri, hingga akhirnya Stella mengatakan, Mmm Will,
aku mau ngomong sesuatu sama kamu, memang semua ini terlalu cepat, Will
aku suka sama kamu katanya pelan tapi pasti. Seperti disambar petir
mendengar kata-katanya, dan secara reflek aku menengok ke kiri melihat
dia, tampaknya dia serius dengan apa yang barusan ia katakan. Dia
menatap tajam. Apa kamu sudah yakin dengan omonganmu yang barusan, Tel?
tanyaku sambil kembali konsentrasi ke jalan. Aku nggak tau kenapa bahwa
aku merasa kamu nggak kayak laki-laki yang pernah aku kenal, kamu baik,
dan kayaknya perhatian and care. Aku nggak mau kalo setelah aku pulang
ini, kita nggak bisa ketemu lagi, Will. Aku nggak mau kehilangan kamu,
jawabnya panjang lebar. Mmm kalo aku boleh jujur sich, ......aku juga suka sama kamu, Tel tapi kamu mau khan kalo kita nggak
pacaran dulu? tegasku. Ok, kalo itu mau kamu, mmm boleh nggak aku sun
kamu, bukti bahwa aku nggak main-main sama omonganku yang barusan?
tanyanya.Wah rasanya seperti mau mati, jantungku mau copot, nafas jadi
sesak. Edan ini anak, seperti benar-benar! Sekali lagi, aku menengok ke
kiri melihat wajahnya yang bulat dengan bola mata yang berwarna coklat,
dia menatapku tajam dan serius sekali. Sekarang? tanyaku sambil menatap
matanya, dan dia menganguk pelan. OK, kamu boleh sun aku, jawabku sambil
kembali ke jalanan. Beberapa detik kemudian dia beranjak dari tempat
duduknya dan mengambil posisi untuk memberi sebuah sun di pipi kiriku.
Diberilah sebuah ciuman di pipi kiriku sambil memeluk. Lama sekali ia
mencium dan ditempelkannya payudaranya di lengan kiriku. Ooh, empuk
sekali, mantap!Payudaranya yang cukup menantang itu sedang menekan
lengan kiriku. Edan, enak sekali, aku jadi terangsang nih. Secara
otomatis batang kemaluanku pun mengeras. Dengan pelan sekali, Stella
berbisik, Will, aku suka sama kamu, dan ia kembali mencium pipiku dan
tetap menekan payudaranya pada lengan kiriku. Konsentrasiku buyar,
sepertinya aku benar-benar sudah terangsang dengan perlakuan Stella, dan
beberapa kendaraan yang melaluiku melihat ke arahku menembus kaca
filmku yang hanya 50%. Kamu terangsang ya, Will? tanyanya pelan dan agak
lirih. Aku tidak menjawab. Tangan kirinya mulai mengelus-elus badanku
dan mengarah ke bawah. Aku sudah benar-benar terangsang. Sekali lagi
Stella berbisik, Will, aku tau kamu terangsang, boleh nggak aku lihat
punyamu? punya kamu besar yach! aku mengangguk. Dibukalah celana
panjangku dengan tangan kirinya, seperti ia agak kesulitan pada saat
ingin membuka ikat pinggangku sebab dia hanya menggunakan satu tangan.
Aku bantu dia membuka ikat pinggang setelah itu aku kembali memegang
setir mobil.Dielus-elus batang kemaluanku yang sudah keras dari luar.
Tidak lama kemudian ditelusupkan telapak kirinya ke dalam dan
digenggamlah kemaluanku. Ooh desahku pelan. Sedikit demi sedikit
wajahnya bergerak. Pertama, ia cium bibirku dari sebelah kiri lalu turun
ke bawah. Ia cium leherku, dan ia sempat berhenti di bagian dadaku,
mungkin ia menikmati aroma parfum BULGARI-ku. Ia makin turun dan turun
ke bawah. Beberapa kali Stella melakukan gerakan mengocok kemaluanku.
Pertama-tama dijilatinya pangkal batang kemaluanku lalu merambat naik ke
atas. Ujung lidahnya kini berada pada bagian biji kejantananku. Salah
satu tangannya menyelinap di antara belahan pantatku, menyentuh anusku,
dan merabanya. Stella melanjutkan perjalanan lidahnya, naik semakin ke
atas, perlahan-lahan. Setiap gerakan nyaris dalam beberapa detik,
teramat perlahan. Melewati bagian tengah, naik lagi. Ke bagian leher
batangku. Kedua tanganku tak kusadari sudah mencengkeram setir mobil.
Ujung lidahnya naik lebih ke atas lagi. Pelan-pelan setiap jilatannya
kurasakan bagaikan kenikmatan yang tak pernah usai, begitu nikmat,
begitu perlahan. Setiap kali kutundukkan wajahku melihat apa yang
dilakukannya setiap kali itu pula kulihat Stella masih tetap menjilati
kemaluanku dengan penuh nafsu.Sesaat Stella kulihat melepaskan tangannya
dari kemaluanku, ia menyibakkan rambutnya ke samping tiga jarinya
kembali menarik bagian bawah batang kemaluanku dengan sedikit
memiringkan kepalanya. Stella kemudian mulai menurunkan wajahnya
mendekati kepala kejantananku. Ia mulai merekahkan kedua bibirnya,
dengan berhati-hati ia memasukkan kepala kemaluanku ke dalam mulutnya
tanpa tersentuh sedikitpun oleh giginya. Kemudian bergerak
perlahan-lahan semakin jauh hingga di bagian tengah batang kemaluanku.
Saat itulah kurasakan kepala kejantananku menyentuh bagian lidahnya.
Tubuhku bergetar sesaat dan terdengar suara khas dari mulut Stella.
Kedua bibirnya sesaat kemudian merapat. Kurasakan kehangatan yang luar
biasa nikmatnya mengguyur sekujur tubuhku. Perlahan-lahan kemudian
kepala Stella mulai naik. Bersamaan dengan itu pula kurasakan tangannya
menarik turun bagian bawah batang tubuh kejantananku hingga ketika bibir
dan lidahnya mencapai di bagian kepala, kurasakan bagian kepala itu
semakin sensitif. Begitu sensitifnya hingga bisa kurasakan kenikmatan
hisapan dan jilatan Stella begitu merasuk dan menggelitik seluruh
urat-urat syaraf yang ada di sana. Kuraba punggungnya dengan tangan
kiriku, kuelus dengan lembut lalu mengarah ke bawah. Kudapatkan payudara
sebelah kanan. Kubuka telapak tanganku mengikuti bentuk payudaranya
yang bulat. Kuremas dengan lembut. Kubuka satu persatu kancing rompinya,
dan kembali aku membuka tepak tangan mengikuti bentuk payudaranya.
Sambil tetap mengulum, tangan kanannya bergerak menyentuh tanganku, ia
tarik baju ketatnya dari selipan celana panjangnya. Dipegangnya tanganku
dan diarahkannya ke dalam. Di balik baju ketatnya, aku meremas-remas
payudaranya yang masih terbungkus BH. Kuremas satu persatu payudaranya
sambil mendesah menikmati kuluman pada kemaluanku.Kuremas agak kuat dan
Stella pun berhenti mengulum sekian detik lamanya. Kuelus-elus kulit
dadanya yang agak menyembul dari BH-nya dengan sesekali menyelipkan
salah satu jariku di antara payudaranya yang kenyal. Agh desahku
menikmati kuluman Stella yang makin cepat. Aku turunkan BH-nya yang
menutupi payudara sebelah kanan, aku dapat meraih putingnya yang sudah
mengeras. Kupilin dengan lembut. Ooh esst desahnya melepas kuluman dan
terdengar suara akibat melepaskan bibirnya dari kemaluanku. Menjilat,
menghisap, naik turun. Ia begitu menikmatinya. Begitu seterusnya
berulang-ulang. Aku tak mampu lagi melihat ke bawah. Tubuhku semakin
lama semakin melengkung ke belakang kepalaku sudah terdongak ke atas.
Kupejamkan mataku. Stella begitu luar biasa melakukannya. Tak sekalipun
kurasakan ...
-TAMAT-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar